PENGARUH GLOBALISASI BAGI KEHIDUPAN MASYARAKAT INDONESIA DALAM BIDANG
BIROKRASI
Globalisasi
telah membawa pengaruh pada segala aspek kehidupan bernegara pada bangsa-bangsa
di dunia. Pengaruh tersebut berdampak pada tatanan politik, ekonomi, sosial dan
budaya. Globalisasi yang mengharuskan pada kompetisi pada tiap-tiap negara ini,
telah membuat perubahan pada segala bidang sebagai bentuk penyesuaian terhadap
tuntutan daripada globalisasi tersebut yang membuat seolah-olah telah
meruntuhkan konsepsi ruang dan waktu antara berbagai negara bangsa di dunia.
Indonesia
sebagai salah satu negara yang sedang berkembang juga mau tidak mau tidak bisa
lepas dari globalisasi. Berbagai pengaruh baik positif maupun dampak negatifnya
turut dirasakan oleh bangsa ini, yang juga secara lansung atau tidak lansung
mempengaruhi dari birokrasi di Indonesia. Globalisasi diibaratkan sebagai dua
sisi mata uang bagi suatu negara, disatu sisi mendatangkan kebaikan dan satu
sisinya lagi mendatangkan keburukan pada suatu negara. Dalam globalisasi ini
ditandai dengan persaingan “Among regions”: khususnya daerah-daerah otonom
dimana investasi bisa ditanamkan, “Among government” : dipertandingkan
efektifitasnya, “Among corporation” : dipertandingkan daya saingnya, “Among
people” : dipertandingkan durability-nya (Riant Nugroho, 2003:43).
Lalu apa yang dimaksud dengan
birokrasi tesebut? Dan mengapa selalu dikaitkan dengan globalisasi? Jawabannya
adalah menurut Peter A. Blau dan Charles H. Page, Birokrasi
adalah suatu tipe dari organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas
administratif yang besar, yaitu dengan cara mengkoordinir secara sistematik
pekerjaan yang dilakukan oleh banyak orang. Maka dari itu birokrasi harus
mengikuti alur dari perkembangan zaman karena sifat dari administratif perlu
dukungan dari berbagai sumber ilmu dan teknologi.
Dalam
era globalisasi ini birokrasi dituntut untuk lebih efisien, efektif, responsif
dan akuntabel. Tetapi walau pun pada kenyataannya pada masa sekarang ini
hal-hal tersebut seolah sangat sulit diwujudkan pada birokrasi Indonesia.
Berbagai polemik muncul dalam birokrasi Indonesia dari orde baru sampai dengan
pasca reformasi. Reformasi yang diharapkan dapat menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang ada di negara ini ternyata malah membawa kepada
keadaan yang lebih buruk. Reformasi yang diharapkan dapat merubah budaya
birokrasi Indonesia yang berbelit-belit dan identik dengan Kolusi, Korupsi dan
Nepotisme kenyataannya tidak sama sekali.
Tantangan untuk
mewujudkan suatu kepemerintahan yang baik menjadi kerja keras bagi birokrasi
Indonesia. Selanjutnya pertanyaan yang akan muncul adalah bagaimana birokrasi
Indonesia tetap eksis dalam menghadapi kemajuan zaman yang semakin mengglobal
ini? Apa yang seharusnya dilakukan sebagai langkah dan bentuk dari penyesuaian
terhadap arus globalisasi? Dalam kesemrawutan birokrasi di Indonesia pertanyaan
tersebut seolah mudah dalam konsep teori, akan tetapi sangat sulit dalam
tataran implementasinya.
BIROKRASI DI NEGERI PANCASILA
Jika
kita memaknai secara umum pengertian birokrasi di Indonesia kita akan
diasumsikan bahwa birokrasi di Indonesia adalah suatu urusan yang panjang dan
berbelit belit serta identik dengan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme. Tidak tau
dari mana asumsi-asumsi itu bisa muncul dan menjadi semacam kepercayaan bagi
masyarakat Indonesia. Mungkin hal tersebut bisa saja di timbulkan dari
pengalaman mereka apabila mereka telah dan berurusan dengan birokrasi itu
sendiri. Ada banyak fakta dan data yang mungkin bisa mereka kemukakan untuk
menegaskan budaya birokrasi yang berbelit-belit dan identik dengan KKN itu.
Pada
tahun 1998, disaat orde baru telah runtuh dan digantikan dengan orde reformasi
banyak hal yang telah di perbaiki atau di reform oleh pemimpin-pemimpin bangsa
ini. Tetapi satu hal, mengenai hal reformasi birokrasi tersebut masih dalam
tahap pengimplementasian dan PR yang harus dikerjakan oleh Pemerintah. Berbagai
kebijakan dan strategi telah dilaksanakan mulai dari kebijakan regulasi untuk
merampingkan birokrasi dan pembentukan lembaga-lembaga baru untuk memberantas
Kolusi, Korupsi dan Nepotisme demi mewujudkan suatu pemerintahan yang bersih
dan berwibawa. Tetapi dari itu hasilnya belum ada yang menunjukkan sebagai
sesuatu yang memadai. Akibatnya ada semacam kecendrungan bahwa birokrasi
Indonesia akan tidak mampu menunjukkan eksistensi dan kehandalannya, birokrasi
Indonesia seperti mengalami sakit yang sangat serius. Jika ini tidak segera
dibenahi secara benar, dan tidak dengan segera mengadakan perubahan secara
komprehensif dan signifikan di tubuh birokrasi hal tersebut akan terus
berimplikasi kepada agenda pembangunan dalam negeri kedepannya.
Krisis
multideimensi yang di alami oleh Indonesia membuat kepercayaan publik terhadap
kinerja dan peran birokrasi menjadi sangat berkurang dan bahkan tidak sama sekali.
Banyak faktor penyebab kenapa hal tersebut bisa terjadi di negara yang kaya
akan sumberdaya alam ini. Seperti yang di ungkapkan oleh Joseph S. Nye, Jr
(1997) lewat tulisannya “In Government We Don’t Trust” sebagaimana yang penulis
kutip dari makalahnya Gubernur Gorontalo, Dr. Ir. Fadel Muhammad yang berjudul
“Energizing Bureaucracy Untuk Membangun Governance di Sektor Publik”[2],
menyatakan bahwa warganegara tidak percaya kepada pemerintah antara lain karena
disebabkan beberapa faktor, yakni :
1. Kemerosotan Ekonomi
2. Buruknya kinerja pemimpin
3. Tumbuhnya korupsi.
Sementara jika kita lihat di Indonesia ada beberapa hal yang
menjadi penyebabnya :
1. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang merajarela
2. Rendahnya kualitas supremasi hukum
3. Akuntabilitas dan kinerja pemerintah yang rendah
Selanjutnya, ada
yang unik dari birokrasi kita apabila kita amati secara jelas pada era orde
baru dan di era demokrasi ini. Birokrasi Indonesia sangat kental dengan
intervensi dari politik. Pemilihan Kepala Daerah secara lansung sebagai
perwujudan dari demokrasi dan desentralisasi ternyata berimpilkasi dari
birokrasi sebagai mesin dari sebuah kebijakan. Malah hal tersebut diperparah
bahwa birokrasi digunakan sebagai mesin politik untuk mendapatkan kekuasaan dan
pengaruh. Dapat kita lihat sebagai contoh apabila suatu jabatan politik
misalnya kepala daerah diganti, maka akan mempengaruhi dari jabatan karir dalam
birokrasi itu. Sampai saat ini belum ada suatu peraturan-perundangan pun di
Indonesia yang menyatakan secara tegas tentang pemisahan antara birokrasi
dengan politik. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa birokrasi dan politik
bisa dibedakan akan tetapi tidak bisa dipisahkan (Miftah Thoha, 2003 : 167).
Ini yang sebenarnya yang belum disadari dan dipahami oleh para elite politik
oleh bangsa ini baik pada skala lokal ataupun nasional. Mereka menganggap bahwa
birokrasi merupakan fasilitas yang bisa mereka gunakan untuk mencapai
tujuan-tujuan politik mereka.
Jika kita tinjau
secara histori, pertama kali kita mengenal konsep atau istilah dari birokrasi
adalah dari Max Weber seorang sosiolog dari Jerman yang menulis karya yang
sangat berpengaruh bagi negara-negara di daratan Eropa. Menurut nya birokrasi
adalah suatu sistem yang mengatur organisasi yang besar untuk mencapai
rasionalitas dalam organisasi tersebut.
Menurut Miftah
Thoha lagi dalam “Restrukturisasi dan Revitalisasi Administrasi Negara dalam
Menyonsong Era Globalisasi”[3], salah satu penyebab mengapa birokrasi sering
dituduh tidak mampu menyesuaikan dengan perkembangannya ataupun dengan
pembangunan adalah karena birokrasi kita masih kental dengan dengan
kebiasaan-kebiasaan tidak produktif dan mentalitas pelaku birokrasi kita sulit
untuk dikendalikan. Jika kita merujuk pada pendapat Miftah Thoha tersebut
memang hal tersebut benar adanya. Sebagai contoh, banyak kita jumpai
pembangunan baik fisik ataupun tidak diIndonesia ini yang tidak tepat sasaran
dan tidak tepat guna, telah berapa dana APBN, APBD yang telah dikeluarkan tanpa
hasil yang cukup berarti. Belum lagi mentalitas aparatnya yang Korupsi, Kolusi,
Nepotisme, indisipliner, dan sebagainya. Berbagai kasus dapat kita lihat
atauapun kita baca dimedia baik cetak atau pun elektornik yang menggambarkan
wajah birokrasi di Indonesia. Apabila kita bandingkan pada masa orde baru atau
pun pada pasca reformasi ini sepertinya tidak ada yang berubah dalam hal
patologi birokrasi Indonesia ini. Kinerja Birokrasi malah dipertanyakan. Warren
Bennis pada tahun 1960an pernah meramalkan bahwa pada abad 21 nanti manusia tidak
perlu birokrasi lagi, ada dua alasan kenapa dia mengemukakan hal tersebut :
1. Birokrasi Pemerintah sarat dengan kelemahan, seperti
tidak efisien. mengedepankan struktur hierarkis, bertele-tele dan
menyelewengkan daripada tujuannya.
2. Birokrasi pemerintah mengidap penyakit inertia
(keterbelakangan), dan resistensi (menolak dari perubahan).
Realitas telah
mebuktikan wajah birokrasi di Indonesia sebagai sesuatu yang dianggap
berbelit-belit, rumit, gemuk, boros, serta KKN. Maka tidak salah rasanya kalau
salah satu mantan Presiden Republik Indonesia menyatakan kalau birokrasi Indonesia
adalah birokrasi keranjang sampah. Seterusnya apakah kita akan berjalan diatas
kondisi yang demikian? Untuk menciptakan suatu sistem pemerintahan yang baik
tidak hanya peran pemerintah yang diharapkan akan tetapi peran swasta,
masyarakat juga harus ikut memberikan kontribusi (good governance) sebagai
suatu kolektivitas untuk membangun bersama. Globalisasi bukanlah suatu hal yang
terlalu menakutkan apabila kita mampu dan unggul dalam persaingan di segala
bidang.
Menurut saya, di
Indonesia mulai menjalankan sistem birokrasi dengan mengedepankan teknologi,
misalnya dengan pengadaan sistem KTP elektronik, sistem tes SIM dengan proses cepat melalui
kinerja komputerisasi, pengadaan kartu – kartu pintar atau kartu sehat yang
dapat dipergunakan sebagai identitas masyarakat untuk menuntut pembiayaan
bantuan dari pemerintah dan masih banyak yang lainnya. Namun, Alangkah
sayangnya hal – hal bidang birokrasi tersebut yang sudah mengikuti arus
globalisasi dengan menggunakan teknologi canggih dan sistem komputerisasi,
masih saja disalahgunakan oleh oknum
yang tidak bertanggung jawab. Sebagai contoh pengadaan – pengadaan E-KTP, SIM,
Kartu BPJS, dll tidak disandingkan dengan ketatnya pengamanan dan kenyamanan
dan tingkat kinerja pegawai yang baik, sehingga terjadi kebocoran – kebocoran
anggaran dan suap menyuap ataupun pungli yang menjadi budaya. Mengapa demikian
karena, proses untuk pembuatannya selalu dipersulit oleh petugas-petugas yang
bersangkutan. Karena jika tak memberikan jaminan berupa uang kepada oknum
tersebut maka akan dipersulit oleh mereka, padahal sistem pembuatan dan
anggarannya pun sudah disediakan oleh pemerintah.
Dengan demikian
potret birokrasi diIndinesia menjadi tercoreng bahkan dianggap tidak becus
pelayanannya. Bagaimana tidak, karena masyarakat sudah resah dan geram dengan
oknum – oknum tersebut, jangan salahkan masyarakat bila malas berbirokrasi,
namun pemerintah sendirilah yang tidak mau meningkatkan pelayanannya.
Di negara-negara
maju, e-government telah lebih dulu diterapkan. Pada waktu-waktu tertentu
masyarakat dapat berinteraksi dengan birokrat melalui fasilitas internet.
Sementara di Indonesia hal tersebut belum sepenuhnya bisa diwujudkan.
E-government telah diperkenalkan melalui Instruksi Presiden No. 6/2001 tgl. 24
April 2001 tentang Telematika (Telekomunikasi, Media dan Informatika) yang
menyatakan bahwa aparat pemerintah harus menggunakan teknologi telematika untuk
mendukung good governance dan mempercepat proses demokrasi. Namun walaupun
demikian penerapan e-goverment ini mengalami hambatan-hambatan antara lain
seperti yang dikemukan oleh Sofian Effendi dalam makalahnya yang berjudul
Pengembangan Good Governance dan e-Goverment di Era Otonomi Daerah 6 yakni :
-
Belum munculnya kesadaran oleh pimpinan daerah
baik legislatif maupun eksekutif akan pentingnya e-goverment sebagai instrumen
penting dalam good governance.
-
Masih kuatnya orientasi kekuasaan di dalam
proses politik sehingga menghambat pengembangan dalam hal ide-ide baru.
-
Penguasaan sumberdaya manusia yang masih
terbatas dalam teknologi informasi.
-
Adanya sikap kedaerahan yang sempit.
Namun menurut
penulis ada hal lain hambatan dalam merealisasikan e-goverment ini. Untuk
mewujudkan e-goverment membutuhkan dana yang sangat besar, tidak tiap daerah
mampu untuk membangun sistem ini. Apalagi untuk daerah-daerah yang baru
mengalamai pemekaran. Selain dari pada itu faktor geografis juga turut
menentukan sulitnya menerapkan e-goverment pada skala lokal di Indonesia. Sebagaimana
kita ketahui bahwa masih ada daerah daerah kita yang jangankan untuk internet,
untuk menikmati listrik atau telepon saja masih belum bisa. Belum meratanya
pembangunan menjadi hambatan dalam proses kemajuan dan pengembangan teknologi.
Ada yang perlu disadari bersama
bahwa e-goverment merupakan dampak daripada globalisasi dan kemajuan daripada
teknologi. Globalisasi dan teknologi tidak selamanya membawa keburukan bagi
kehidupan manusia. Akan tetapi kemudahan-kemudahan dalam pelayanan publik terus
menjadi suatu tujuan dalam penerapan e-goverment ini. Mudahnya koordinasi antar
instansi juga dapat terimplementasi dalam setiap kebijakan yang telah dibuat.
KESIMPULAN
Dari semua
penjelasan yang saya jelaskan diatas, ada beberapa hal yang ingin saya simpulkan,
sebagaimana yang disebutkan pada pendahuluan tadi bahwa globalisiasi telah
nyata membawa perubahan dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Bagaimana untuk unggul dalam globalisasi itu yang harus menjadi
perhatian daripada birokrasi. Birokrasi harus dengan segera menyesuaikan diri
dengan kemajuan dan perubahan zaman yang semakin maju dan canggih ini.Patologi
birokrasi tersebut merupakan hambatan yang harus segera dibenahi. Untuk
mencapai suatu kemajuan diperlukan optimisme yang rasional. Tidak mudah tapi
merupakan suatu hal yang perlu keseriusan. Karena birokrasi merupakan ajang
untuk memajukan masyarakat itu sendiri agar menjadikan masyarakat Indonesia
menjadi masyarakat yang madani, aktif, serta menjadikan masyarakat yang
berdemokrasi sesuai dengan aturan – aturan perundang – undangan yang berlaku.
Maka
dari itu saya menyarankan kepada pemerintah untuk tidak tanggung- tanggung
untuk mengambil tindakan tegas untuk sistem pelayanan dan tenaga kerja
birokrasi yang dapat diterima dengan baik oleh masyarakat pada umumnya.
Terutama melihat dan mencontoh negara lain yang memiliki sistem birokrasi yang
sudah baik. Terlebih masyarakat menginginkan sistem birokrasi yang canggih,
efektif, efisien, responsif, akuntabel, serta tepat sasaran.
REFERENSI
Dikutip dari tulisan nya Subiakto Tjakrawerdaja pada Harian
Umum Pelita tanggal 26-08- 2008
Makalah disampaikan pada SEMINAR NASIONAL DIES XV Dan Temu
Alumni MAP UGM, pada tanggal 28 Agustus 2008
Merupakan ceramah/kuliah umum pada program pasca sarjana
LAN-UNPAD
Definisi diambil dari artikelnya Agus Sutyono dan AmbarT.S
dalam Good Governance dalam perspektif SDM, Gava Media
Sumber Daya MAnusia Aparatur Pemerintah Dalam Birokrasi
Publik Indonesia, Penerbit Gava Media, 2004
https://alfahme.wordpress.com/2008/10/21/birokrasi-indonesia-dan-globalisasi-suatu-langkah-penyesuaian-terhadap-globalisasi/
No comments:
Post a Comment