DARI TUGAS MENGHASILKAN KARYA

SOFTSKILL

Saturday, 26 March 2016

Pengaruh Globalisasi Bagi Keghidupan Masyarakat dalam Bidang Birokrasi



PENGARUH GLOBALISASI BAGI KEHIDUPAN MASYARAKAT INDONESIA DALAM BIDANG BIROKRASI
Globalisasi telah membawa pengaruh pada segala aspek kehidupan bernegara pada bangsa-bangsa di dunia. Pengaruh tersebut berdampak pada tatanan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Globalisasi yang mengharuskan pada kompetisi pada tiap-tiap negara ini, telah membuat perubahan pada segala bidang sebagai bentuk penyesuaian terhadap tuntutan daripada globalisasi tersebut yang membuat seolah-olah telah meruntuhkan konsepsi ruang dan waktu antara berbagai negara bangsa di dunia.
Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang juga mau tidak mau tidak bisa lepas dari globalisasi. Berbagai pengaruh baik positif maupun dampak negatifnya turut dirasakan oleh bangsa ini, yang juga secara lansung atau tidak lansung mempengaruhi dari birokrasi di Indonesia. Globalisasi diibaratkan sebagai dua sisi mata uang bagi suatu negara, disatu sisi mendatangkan kebaikan dan satu sisinya lagi mendatangkan keburukan pada suatu negara. Dalam globalisasi ini ditandai dengan persaingan “Among regions”: khususnya daerah-daerah otonom dimana investasi bisa ditanamkan, “Among government” : dipertandingkan efektifitasnya, “Among corporation” : dipertandingkan daya saingnya, “Among people” : dipertandingkan durability-nya (Riant Nugroho, 2003:43).
                Lalu apa yang dimaksud dengan birokrasi tesebut? Dan mengapa selalu dikaitkan dengan globalisasi? Jawabannya adalah menurut Peter A. Blau dan Charles H. Page, Birokrasi adalah suatu tipe dari organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar, yaitu dengan cara mengkoordinir secara sistematik pekerjaan yang dilakukan oleh banyak orang. Maka dari itu birokrasi harus mengikuti alur dari perkembangan zaman karena sifat dari administratif perlu dukungan dari berbagai sumber ilmu dan teknologi.
Dalam era globalisasi ini birokrasi dituntut untuk lebih efisien, efektif, responsif dan akuntabel. Tetapi walau pun pada kenyataannya pada masa sekarang ini hal-hal tersebut seolah sangat sulit diwujudkan pada birokrasi Indonesia. Berbagai polemik muncul dalam birokrasi Indonesia dari orde baru sampai dengan pasca reformasi. Reformasi yang diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada di negara ini ternyata malah membawa kepada keadaan yang lebih buruk. Reformasi yang diharapkan dapat merubah budaya birokrasi Indonesia yang berbelit-belit dan identik dengan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme kenyataannya tidak sama sekali.
Tantangan untuk mewujudkan suatu kepemerintahan yang baik menjadi kerja keras bagi birokrasi Indonesia. Selanjutnya pertanyaan yang akan muncul adalah bagaimana birokrasi Indonesia tetap eksis dalam menghadapi kemajuan zaman yang semakin mengglobal ini? Apa yang seharusnya dilakukan sebagai langkah dan bentuk dari penyesuaian terhadap arus globalisasi? Dalam kesemrawutan birokrasi di Indonesia pertanyaan tersebut seolah mudah dalam konsep teori, akan tetapi sangat sulit dalam tataran implementasinya.

BIROKRASI DI NEGERI PANCASILA
Jika kita memaknai secara umum pengertian birokrasi di Indonesia kita akan diasumsikan bahwa birokrasi di Indonesia adalah suatu urusan yang panjang dan berbelit belit serta identik dengan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme. Tidak tau dari mana asumsi-asumsi itu bisa muncul dan menjadi semacam kepercayaan bagi masyarakat Indonesia. Mungkin hal tersebut bisa saja di timbulkan dari pengalaman mereka apabila mereka telah dan berurusan dengan birokrasi itu sendiri. Ada banyak fakta dan data yang mungkin bisa mereka kemukakan untuk menegaskan budaya birokrasi yang berbelit-belit dan identik dengan KKN itu.
Pada tahun 1998, disaat orde baru telah runtuh dan digantikan dengan orde reformasi banyak hal yang telah di perbaiki atau di reform oleh pemimpin-pemimpin bangsa ini. Tetapi satu hal, mengenai hal reformasi birokrasi tersebut masih dalam tahap pengimplementasian dan PR yang harus dikerjakan oleh Pemerintah. Berbagai kebijakan dan strategi telah dilaksanakan mulai dari kebijakan regulasi untuk merampingkan birokrasi dan pembentukan lembaga-lembaga baru untuk memberantas Kolusi, Korupsi dan Nepotisme demi mewujudkan suatu pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Tetapi dari itu hasilnya belum ada yang menunjukkan sebagai sesuatu yang memadai. Akibatnya ada semacam kecendrungan bahwa birokrasi Indonesia akan tidak mampu menunjukkan eksistensi dan kehandalannya, birokrasi Indonesia seperti mengalami sakit yang sangat serius. Jika ini tidak segera dibenahi secara benar, dan tidak dengan segera mengadakan perubahan secara komprehensif dan signifikan di tubuh birokrasi hal tersebut akan terus berimplikasi kepada agenda pembangunan dalam negeri kedepannya.
Krisis multideimensi yang di alami oleh Indonesia membuat kepercayaan publik terhadap kinerja dan peran birokrasi menjadi sangat berkurang dan bahkan tidak sama sekali. Banyak faktor penyebab kenapa hal tersebut bisa terjadi di negara yang kaya akan sumberdaya alam ini. Seperti yang di ungkapkan oleh Joseph S. Nye, Jr (1997) lewat tulisannya “In Government We Don’t Trust” sebagaimana yang penulis kutip dari makalahnya Gubernur Gorontalo, Dr. Ir. Fadel Muhammad yang berjudul “Energizing Bureaucracy Untuk Membangun Governance di Sektor Publik”[2], menyatakan bahwa warganegara tidak percaya kepada pemerintah antara lain karena disebabkan beberapa faktor, yakni :

1. Kemerosotan Ekonomi

2. Buruknya kinerja pemimpin

3. Tumbuhnya korupsi.

Sementara jika kita lihat di Indonesia ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya :

1. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang merajarela

2. Rendahnya kualitas supremasi hukum

3. Akuntabilitas dan kinerja pemerintah yang rendah

Selanjutnya, ada yang unik dari birokrasi kita apabila kita amati secara jelas pada era orde baru dan di era demokrasi ini. Birokrasi Indonesia sangat kental dengan intervensi dari politik. Pemilihan Kepala Daerah secara lansung sebagai perwujudan dari demokrasi dan desentralisasi ternyata berimpilkasi dari birokrasi sebagai mesin dari sebuah kebijakan. Malah hal tersebut diperparah bahwa birokrasi digunakan sebagai mesin politik untuk mendapatkan kekuasaan dan pengaruh. Dapat kita lihat sebagai contoh apabila suatu jabatan politik misalnya kepala daerah diganti, maka akan mempengaruhi dari jabatan karir dalam birokrasi itu. Sampai saat ini belum ada suatu peraturan-perundangan pun di Indonesia yang menyatakan secara tegas tentang pemisahan antara birokrasi dengan politik. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa birokrasi dan politik bisa dibedakan akan tetapi tidak bisa dipisahkan (Miftah Thoha, 2003 : 167). Ini yang sebenarnya yang belum disadari dan dipahami oleh para elite politik oleh bangsa ini baik pada skala lokal ataupun nasional. Mereka menganggap bahwa birokrasi merupakan fasilitas yang bisa mereka gunakan untuk mencapai tujuan-tujuan politik mereka.
Jika kita tinjau secara histori, pertama kali kita mengenal konsep atau istilah dari birokrasi adalah dari Max Weber seorang sosiolog dari Jerman yang menulis karya yang sangat berpengaruh bagi negara-negara di daratan Eropa. Menurut nya birokrasi adalah suatu sistem yang mengatur organisasi yang besar untuk mencapai rasionalitas dalam organisasi tersebut.
Menurut Miftah Thoha lagi dalam “Restrukturisasi dan Revitalisasi Administrasi Negara dalam Menyonsong Era Globalisasi”[3], salah satu penyebab mengapa birokrasi sering dituduh tidak mampu menyesuaikan dengan perkembangannya ataupun dengan pembangunan adalah karena birokrasi kita masih kental dengan dengan kebiasaan-kebiasaan tidak produktif dan mentalitas pelaku birokrasi kita sulit untuk dikendalikan. Jika kita merujuk pada pendapat Miftah Thoha tersebut memang hal tersebut benar adanya. Sebagai contoh, banyak kita jumpai pembangunan baik fisik ataupun tidak diIndonesia ini yang tidak tepat sasaran dan tidak tepat guna, telah berapa dana APBN, APBD yang telah dikeluarkan tanpa hasil yang cukup berarti. Belum lagi mentalitas aparatnya yang Korupsi, Kolusi, Nepotisme, indisipliner, dan sebagainya. Berbagai kasus dapat kita lihat atauapun kita baca dimedia baik cetak atau pun elektornik yang menggambarkan wajah birokrasi di Indonesia. Apabila kita bandingkan pada masa orde baru atau pun pada pasca reformasi ini sepertinya tidak ada yang berubah dalam hal patologi birokrasi Indonesia ini. Kinerja Birokrasi malah dipertanyakan. Warren Bennis pada tahun 1960an pernah meramalkan bahwa pada abad 21 nanti manusia tidak perlu birokrasi lagi, ada dua alasan kenapa dia mengemukakan hal tersebut :
1. Birokrasi Pemerintah sarat dengan kelemahan, seperti tidak efisien. mengedepankan struktur hierarkis, bertele-tele dan menyelewengkan daripada tujuannya.
2. Birokrasi pemerintah mengidap penyakit inertia (keterbelakangan), dan resistensi (menolak dari perubahan).
Realitas telah mebuktikan wajah birokrasi di Indonesia sebagai sesuatu yang dianggap berbelit-belit, rumit, gemuk, boros, serta KKN. Maka tidak salah rasanya kalau salah satu mantan Presiden Republik Indonesia menyatakan kalau birokrasi Indonesia adalah birokrasi keranjang sampah. Seterusnya apakah kita akan berjalan diatas kondisi yang demikian? Untuk menciptakan suatu sistem pemerintahan yang baik tidak hanya peran pemerintah yang diharapkan akan tetapi peran swasta, masyarakat juga harus ikut memberikan kontribusi (good governance) sebagai suatu kolektivitas untuk membangun bersama. Globalisasi bukanlah suatu hal yang terlalu menakutkan apabila kita mampu dan unggul dalam persaingan di segala bidang.



Menurut saya, di Indonesia mulai menjalankan sistem birokrasi dengan mengedepankan teknologi, misalnya dengan pengadaan sistem KTP elektronik,  sistem tes SIM dengan proses cepat melalui kinerja komputerisasi, pengadaan kartu – kartu pintar atau kartu sehat yang dapat dipergunakan sebagai identitas masyarakat untuk menuntut pembiayaan bantuan dari pemerintah dan masih banyak yang lainnya. Namun, Alangkah sayangnya hal – hal bidang birokrasi tersebut yang sudah mengikuti arus globalisasi dengan menggunakan teknologi canggih dan sistem komputerisasi, masih saja  disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Sebagai contoh pengadaan – pengadaan E-KTP, SIM, Kartu BPJS, dll tidak disandingkan dengan ketatnya pengamanan dan kenyamanan dan tingkat kinerja pegawai yang baik, sehingga terjadi kebocoran – kebocoran anggaran dan suap menyuap ataupun pungli yang menjadi budaya. Mengapa demikian karena, proses untuk pembuatannya selalu dipersulit oleh petugas-petugas yang bersangkutan. Karena jika tak memberikan jaminan berupa uang kepada oknum tersebut maka akan dipersulit oleh mereka, padahal sistem pembuatan dan anggarannya pun sudah disediakan oleh pemerintah.
Dengan demikian potret birokrasi diIndinesia menjadi tercoreng bahkan dianggap tidak becus pelayanannya. Bagaimana tidak, karena masyarakat sudah resah dan geram dengan oknum – oknum tersebut, jangan salahkan masyarakat bila malas berbirokrasi, namun pemerintah sendirilah yang tidak mau meningkatkan pelayanannya.
Di negara-negara maju, e-government telah lebih dulu diterapkan. Pada waktu-waktu tertentu masyarakat dapat berinteraksi dengan birokrat melalui fasilitas internet. Sementara di Indonesia hal tersebut belum sepenuhnya bisa diwujudkan. E-government telah diperkenalkan melalui Instruksi Presiden No. 6/2001 tgl. 24 April 2001 tentang Telematika (Telekomunikasi, Media dan Informatika) yang menyatakan bahwa aparat pemerintah harus menggunakan teknologi telematika untuk mendukung good governance dan mempercepat proses demokrasi. Namun walaupun demikian penerapan e-goverment ini mengalami hambatan-hambatan antara lain seperti yang dikemukan oleh Sofian Effendi dalam makalahnya yang berjudul Pengembangan Good Governance dan e-Goverment di Era Otonomi Daerah 6 yakni :

-          Belum munculnya kesadaran oleh pimpinan daerah baik legislatif maupun eksekutif akan pentingnya e-goverment sebagai instrumen penting dalam good governance.
-          Masih kuatnya orientasi kekuasaan di dalam proses politik sehingga menghambat pengembangan dalam hal ide-ide baru.
-          Penguasaan sumberdaya manusia yang masih terbatas dalam teknologi informasi.
-          Adanya sikap kedaerahan yang sempit.
Namun menurut penulis ada hal lain hambatan dalam merealisasikan e-goverment ini. Untuk mewujudkan e-goverment membutuhkan dana yang sangat besar, tidak tiap daerah mampu untuk membangun sistem ini. Apalagi untuk daerah-daerah yang baru mengalamai pemekaran. Selain dari pada itu faktor geografis juga turut menentukan sulitnya menerapkan e-goverment pada skala lokal di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bahwa masih ada daerah daerah kita yang jangankan untuk internet, untuk menikmati listrik atau telepon saja masih belum bisa. Belum meratanya pembangunan menjadi hambatan dalam proses kemajuan dan pengembangan teknologi.
Ada yang perlu disadari bersama bahwa e-goverment merupakan dampak daripada globalisasi dan kemajuan daripada teknologi. Globalisasi dan teknologi tidak selamanya membawa keburukan bagi kehidupan manusia. Akan tetapi kemudahan-kemudahan dalam pelayanan publik terus menjadi suatu tujuan dalam penerapan e-goverment ini. Mudahnya koordinasi antar instansi juga dapat terimplementasi dalam setiap kebijakan yang telah dibuat.
KESIMPULAN
Dari semua penjelasan yang saya jelaskan diatas, ada beberapa hal yang ingin saya simpulkan, sebagaimana yang disebutkan pada pendahuluan tadi bahwa globalisiasi telah nyata membawa perubahan dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bagaimana untuk unggul dalam globalisasi itu yang harus menjadi perhatian daripada birokrasi. Birokrasi harus dengan segera menyesuaikan diri dengan kemajuan dan perubahan zaman yang semakin maju dan canggih ini.Patologi birokrasi tersebut merupakan hambatan yang harus segera dibenahi. Untuk mencapai suatu kemajuan diperlukan optimisme yang rasional. Tidak mudah tapi merupakan suatu hal yang perlu keseriusan. Karena birokrasi merupakan ajang untuk memajukan masyarakat itu sendiri agar menjadikan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang madani, aktif, serta menjadikan masyarakat yang berdemokrasi sesuai dengan aturan – aturan perundang – undangan yang berlaku.
                Maka dari itu saya menyarankan kepada pemerintah untuk tidak tanggung- tanggung untuk mengambil tindakan tegas untuk sistem pelayanan dan tenaga kerja birokrasi yang dapat diterima dengan baik oleh masyarakat pada umumnya. Terutama melihat dan mencontoh negara lain yang memiliki sistem birokrasi yang sudah baik. Terlebih masyarakat menginginkan sistem birokrasi yang canggih, efektif, efisien, responsif, akuntabel, serta tepat sasaran.

REFERENSI
Dikutip dari tulisan nya Subiakto Tjakrawerdaja pada Harian Umum Pelita tanggal 26-08- 2008
Makalah disampaikan pada SEMINAR NASIONAL DIES XV Dan Temu Alumni MAP UGM, pada tanggal 28 Agustus 2008
Merupakan ceramah/kuliah umum pada program pasca sarjana LAN-UNPAD
Definisi diambil dari artikelnya Agus Sutyono dan AmbarT.S dalam Good Governance dalam perspektif SDM, Gava Media
Sumber Daya MAnusia Aparatur Pemerintah Dalam Birokrasi Publik Indonesia, Penerbit Gava Media, 2004
https://alfahme.wordpress.com/2008/10/21/birokrasi-indonesia-dan-globalisasi-suatu-langkah-penyesuaian-terhadap-globalisasi/

No comments:

Post a Comment