DARI TUGAS MENGHASILKAN KARYA

SOFTSKILL

Thursday, 14 May 2015

Kisah yang Menyentuh Jiwa



EMAKKU BUKAN KARTINI ::
Emakku bukan Kartini. Dia hanya anak seorang petani kelapa. Istri seorang petani kelapa pula. Sampai akhir hayatnya dia buta huruf latin (bisa membaca huruf Arab). Dia tak sekolah bukan karena tak hendak. Dia tak sekolah karena berbagai kombinasi yang tak menguntungkannya.
Suatu hari di kampung kedatangan ustaz dari desa lain. Ada pengajian kecil, mempelajari sifat dua puluh. Emak, ketika itu seorang gadis kecil, ingin ikut serta belajar. Tapi ia dihardik ayahnya. “Kau bukan anak perempuan yang patut untuk menjadi cendekia.” Emak hanya bisa menangis.
Tapi Emak tak pernah mengeluh. Pun ia tak melawan. Ia hanya menunggu datangnya sesuatu: Kebebasan. Yang ia tunggu itu datang kemudian, saat ia menikah. Ayah ketika itu adalah seorang buruh tani. Kerjanya memanjat kelapa milik orang, mengumpukannya ke suatu tempat hingga siap dijual. Ia sepertinya puas dengan upah yang dia terima. Tapi Emak tidak. Ia sudah melihat banyak kehidupan buruh tani. Sampai tua mereka tetap miskin.Maka ia paksa Ayah untuk pindah kampung. Hijrah. Ini adalah titik tolak baru dalam sejarah hidup Emak. Ia pindah ke kampung baru. Di kampung itu masih tersedia lahan yang bisa dibuka. Hanya perlu tenaga untuk menebang pohon.Bersama Ayah, dia memulai hidup pengantin barunya di sebuah gubuk, menumpang di tanah paman jauhnya. Salah satu tiang gubuk itu adalah batang bohon hidup. Berdinding dan beratap daun nipah, berlantai belahan kayu nibung. Dari gubuk itulah nasibnya ia ubah.
Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari kerja keras. Tak pernah Emak berfikir bahwa ia seorang perempuan, sehingga seharusnya beban kerjanya lebih ringan. Bersama Ayah ia mengayun kampak, menebang rimba untuk membuka lahan. Lahan itu kemudian menjadi ladang padi. Hasil panen padi adalah bekal makan selama setahun. Di lahan itu pula ia mulai menanam kelapa, membuat kebun.Emak bekerja keras, lebih keras dari orang lain. Sore hari saat orang sudah rapih reriungan dengan keluarga, ia baru pulang dari ladang. Di gubuknya ia masih harus masak untuk makan malam.
Kerja keras itu berhasil. Bebeberapa tahun kemudian kelapanya sudah mulai menghasilkan. Tak banyak memang. Tapi setidaknya keluarga kami sudah punya masa depan. Seingatku ketika kemudian aku lahir sebagai anak ke delapan, keluarga kami bukan keluarga miskin buruh tani, tapi keluarga pemilik beberapa bidang kebun kelapa, meski bukan pula keluarga kaya.
Emak ingin belajar. Ia tak mengeluh ketika niatnya dihalangi. Ia pun tak menangisi kesempatan yang berlalu namun tak pernah dapat ia raih. Tapi ia tahu cara mengubah nasibnya. “Mereka bisa menghalangiku untuk belajar. Tapi tak seorangpun bisa menghalangi anak-anakku.” begitu tekadnya. Saat abangku yang tertua memasuki usia sekolah, di kampung kami belum ada sekolah. Emak tak menyerah. Ia bersama ayah mengayuh sampan selama tiga hari. Tiga hari. Ke kampung pamannya, seorang lurah. Di situlah abangku dititipkan untuk bersekolah.Itulah mulanya, lalu kami semua kakak beradik bisa bersekolah.
Sadar dengan tekad itu Ayah tergerak. Ia ajak orang kampung membangun sekolah. Ia datangkan guru dari kampung lain. Itulah sekolah yang kemudian mengubah nasib banyak orang di kampung kami.
Tak cukup bertani, Emak berdagang untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Dia beli pakaian, obat-obatan, apa saja yang laku dijual dari kota, ia jajakan berkeliling dari rumah ke rumah. Sambil belanja kebutuhan dagang ia bisa menengok anak-anaknya yang sekolah di kota. Di lain ketika Emak jadi perias pengantin. Berkeliling ke berbagai kampung, sambil tetap menjajakan dagangannya. Hingga akhirnya semua anaknya bisa sekolah tinggi.
Di hari tuanya Emak bisa beristirahat. Kami yang sudah bekerja bisa memberi dia makan, mencukupi kebutuhannya. Saat aku lulus sarjana, Emak bilang, “Kau bekerjalah di sini, di dekat Emak.” Aku menurut. Tapi aku juga masih ingin sekolah. Saat kesempatan itu datang, Emak keberatan. Dia ingin aku tetap di sisinya. “Sudah cukuplah kau sekolah. Kau sudah jadi sarjana.”
Aku bujuk Emak. “Mak. Ingat kan, dulu Emak bekerja mati-matian agar kami bisa sekolah. Sekarang ini saya dapat beasiswa. Artinya saya tidak perlu membayar untuk sekolah. Malah saya dibayar. Saya mengkhianati cita-cita Emak kalau saya tidak sekolah lagi.” Akhirnya Emak mengalah, aku diijinkannya pergi.Aku berangkat sekolah ke Malaysia. Tapi saat aku di Jakarta aku dengar Emak pingsan di kamarku saat membersihkannya. Kepergianku begitu melukainya.
Tapi Emak tak meratapi itu. Setelah aku, saudara-saudaraku yang lebih tua juga dapat kesempatan melanjutkan kuliah. Pernah suatu saat hanya ada abangku yang tertua di sisi Emak. Anak laki-lakinya yang lain pergi jauh.Sedihkah Emak? “Sepi”, katanya. “tapi sepi itu bisa Emak obati dengan rasa bangga.”
Emakku bukan Kartini. Ia tak menulis surat, yang membuat orang lain bergerak. Ia bahkan tak bisa menulis. Tapi dengan tangannya, dia mengubah nasibnya. Nasib kami. (Sumber: Sutan Paruik Gadang,groups.yahoo.com)
EMAKKU BUKAN KARTINI ::
Emakku bukan Kartini. Dia hanya anak seorang petani kelapa. Istri seorang petani kelapa pula. Sampai akhir hayatnya dia buta huruf latin (bisa membaca huruf Arab). Dia tak sekolah bukan karena tak hendak. Dia tak sekolah karena berbagai kombinasi yang tak menguntungkannya.
Suatu hari di kampung kedatangan ustaz dari desa lain. Ada pengajian kecil, mempelajari sifat dua puluh. Emak, ketika itu seorang gadis kecil, ingin ikut serta belajar. Tapi ia dihardik ayahnya. “Kau bukan anak perempuan yang patut untuk menjadi cendekia.” Emak hanya bisa menangis.
Tapi Emak tak pernah mengeluh. Pun ia tak melawan. Ia hanya menunggu datangnya sesuatu: Kebebasan. Yang ia tunggu itu datang kemudian, saat ia menikah. Ayah ketika itu adalah seorang buruh tani. Kerjanya memanjat kelapa milik orang, mengumpukannya ke suatu tempat hingga siap dijual. Ia sepertinya puas dengan upah yang dia terima. Tapi Emak tidak. Ia sudah melihat banyak kehidupan buruh tani. Sampai tua mereka tetap miskin.Maka ia paksa Ayah untuk pindah kampung. Hijrah. Ini adalah titik tolak baru dalam sejarah hidup Emak. Ia pindah ke kampung baru. Di kampung itu masih tersedia lahan yang bisa dibuka. Hanya perlu tenaga untuk menebang pohon.Bersama Ayah, dia memulai hidup pengantin barunya di sebuah gubuk, menumpang di tanah paman jauhnya. Salah satu tiang gubuk itu adalah batang bohon hidup. Berdinding dan beratap daun nipah, berlantai belahan kayu nibung. Dari gubuk itulah nasibnya ia ubah.
Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari kerja keras. Tak pernah Emak berfikir bahwa ia seorang perempuan, sehingga seharusnya beban kerjanya lebih ringan. Bersama Ayah ia mengayun kampak, menebang rimba untuk membuka lahan. Lahan itu kemudian menjadi ladang padi. Hasil panen padi adalah bekal makan selama setahun. Di lahan itu pula ia mulai menanam kelapa, membuat kebun.Emak bekerja keras, lebih keras dari orang lain. Sore hari saat orang sudah rapih reriungan dengan keluarga, ia baru pulang dari ladang. Di gubuknya ia masih harus masak untuk makan malam.
Kerja keras itu berhasil. Bebeberapa tahun kemudian kelapanya sudah mulai menghasilkan. Tak banyak memang. Tapi setidaknya keluarga kami sudah punya masa depan. Seingatku ketika kemudian aku lahir sebagai anak ke delapan, keluarga kami bukan keluarga miskin buruh tani, tapi keluarga pemilik beberapa bidang kebun kelapa, meski bukan pula keluarga kaya.
Emak ingin belajar. Ia tak mengeluh ketika niatnya dihalangi. Ia pun tak menangisi kesempatan yang berlalu namun tak pernah dapat ia raih. Tapi ia tahu cara mengubah nasibnya. “Mereka bisa menghalangiku untuk belajar. Tapi tak seorangpun bisa menghalangi anak-anakku.” begitu tekadnya. Saat abangku yang tertua memasuki usia sekolah, di kampung kami belum ada sekolah. Emak tak menyerah. Ia bersama ayah mengayuh sampan selama tiga hari. Tiga hari. Ke kampung pamannya, seorang lurah. Di situlah abangku dititipkan untuk bersekolah.Itulah mulanya, lalu kami semua kakak beradik bisa bersekolah.
Sadar dengan tekad itu Ayah tergerak. Ia ajak orang kampung membangun sekolah. Ia datangkan guru dari kampung lain. Itulah sekolah yang kemudian mengubah nasib banyak orang di kampung kami.
Tak cukup bertani, Emak berdagang untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Dia beli pakaian, obat-obatan, apa saja yang laku dijual dari kota, ia jajakan berkeliling dari rumah ke rumah. Sambil belanja kebutuhan dagang ia bisa menengok anak-anaknya yang sekolah di kota. Di lain ketika Emak jadi perias pengantin. Berkeliling ke berbagai kampung, sambil tetap menjajakan dagangannya. Hingga akhirnya semua anaknya bisa sekolah tinggi.
Di hari tuanya Emak bisa beristirahat. Kami yang sudah bekerja bisa memberi dia makan, mencukupi kebutuhannya. Saat aku lulus sarjana, Emak bilang, “Kau bekerjalah di sini, di dekat Emak.” Aku menurut. Tapi aku juga masih ingin sekolah. Saat kesempatan itu datang, Emak keberatan. Dia ingin aku tetap di sisinya. “Sudah cukuplah kau sekolah. Kau sudah jadi sarjana.”
Aku bujuk Emak. “Mak. Ingat kan, dulu Emak bekerja mati-matian agar kami bisa sekolah. Sekarang ini saya dapat beasiswa. Artinya saya tidak perlu membayar untuk sekolah. Malah saya dibayar. Saya mengkhianati cita-cita Emak kalau saya tidak sekolah lagi.” Akhirnya Emak mengalah, aku diijinkannya pergi.Aku berangkat sekolah ke Malaysia. Tapi saat aku di Jakarta aku dengar Emak pingsan di kamarku saat membersihkannya. Kepergianku begitu melukainya.
Tapi Emak tak meratapi itu. Setelah aku, saudara-saudaraku yang lebih tua juga dapat kesempatan melanjutkan kuliah. Pernah suatu saat hanya ada abangku yang tertua di sisi Emak. Anak laki-lakinya yang lain pergi jauh.Sedihkah Emak? “Sepi”, katanya. “tapi sepi itu bisa Emak obati dengan rasa bangga.”
Emakku bukan Kartini. Ia tak menulis surat, yang membuat orang lain bergerak. Ia bahkan tak bisa menulis. Tapi dengan tangannya, dia mengubah nasibnya. Nasib kami. (Sumber: Sutan Paruik Gadang,groups.yahoo.com)


Anak doyan makan, ayah miskin jual ginjal ::
Sebuah keluarga miskin di India mempunyai tiga orang anak kecil dengan tingkat obesitas yang sangat mengerikan. Anak termuda Harsh (1) berbobot 15 kilogram, Yogita Rameshbai (5) dengan berat 48 kilogram, dan Anisha (3 tahun) seberat 34 kilogram.
Konsumsi yang mereka makan seminggu setara dengan porsi makan dua keluarga dalam satu bulan. Sang ayah, Rameshbai (34) kalang kabut memenuhi porsi makanan "monster-monster" kecilnya, dia berencana menjual ginjalnya demi mendapatkan uang agar porsi makan anak-anaknya tetap tercukupi.
"Sebenarnya saya cemas akan kondisi anak-anak, pertumbuhan abnormalnya membuat mereka rentan terkena penyakit dan berujung pada kematian," ungkapnya seperti dilansir surat kabar Daily Mail.
Diketahui, Yogita dan Anisha memakan 18 kue gandum pancake, 1,4 kilogram nasi, 2 mangkuk sup kaldu, 6 bungkus krupuk, 5 bungkus biskuit, 12 pisang dan satu liter susu perharinya. Kondisi seperti ini membuat sang ibu, Pragna Ben (30), menghabiskan seluruh waktunya hanya demi memenuhi rasa lapar anak-anaknya.
"Setiap pagi dimulai dengan membuat 30 kue gandum, menyiapkan 1 kilogram sayur kari pada pagi hari, dan setelahnya melanjutkan memasak di dapur untuk menu siang dan malam mereka," ungkapnya.
Mereka mulai marah, berontak, dan tidak terkendali jika merasa kelaparan, atau porsi makan mereka kurang. Sebenarnya mereka mempunyai satu kakak perempuan, Rhavika (6) dengan kondisi normal berbobot 16 kilogram, ia sendiri heran mengapa adik-adiknya mempunyai bobot bak "monster".
Pada awal kelahiran Yogita sang ayah mengaku kondisinya sangat lemah dan bobotnya hanya 1,5 kilogram, maka dari itu mereka memberinya makan secara berlebih, dan pada ulang tahunnya yang pertama beratnya meledak hingga 12 kilogram.






1000 VS 100.000 ::
Tersebutlah uang 1000 dan 100.000 rupiah. Selepas dicetak di Peruri dan diedarkan oleh BI, meraka mengalami perjalanan dan petualangan yang berbeda. Uang 1000, begitu dikeluarkan langsung beredar di kalangan bawah, di pasar, dipegang oleh tukang becak, tukang ojek, tukang parkir, bahkan pengemis. Sedangkan uang 100.000 masuk ke mall mall, dipegang oleh orang-orang cantik dan ganteng.
Alkisah, mereka bertemu di dompet seorang pemuda. Si uang 100.000 bertanya kepada uang 1000.
“Wahai uang 1000, kok badanmu buluk amat, bau, lecek. Kenapa bisa begitu?” Tanyanya dengan nada pongah, karena merasa dirinya bagus, kekar, dan wangi.
“Wahai uang 100.000. Wajarlah badanku lecek begini, aku kan dipegangnya sama tukang ojek, tukang becak, tukang ikan, tukang sayur, pengemis. Aku sangat sering berpindah-pindah makanya bau dan lecek. Tapi kau, wahai 100.000. Badanmu kekar, aromamu wangi. Kau tentulah sangat terpelihara?”
“Pastinya dong..! Aku sangat jarang keluar dompet, orang-orang sangat menyayangiku. Kalaupun keluar, aku keluar di daerah yang bersih dan wangi. Seperti mall dan toko emas”. Uang 100.000 tambah pongah.
Si uang 1000 terdiam sejenak.
“Kau sangat keren. Tapi…. pernahkan kau mampir di rumah yatim piatu?” tanya uang 1000.
Si uang 100.000 menggeleng.
“Tidak. Tidak pernah.”
“Kalau tempat ibadah?”
“Tidak pernah juga”
“Kalo di tangan seorang nenek-nenek yang menerima dengan rasa syukur yang sangat saat mendapatkanmu?”
Si uang 100.000 menggeleng lemah.
“Aku tidak pernah mengalami semua itu. pemilikku biasanya sangat menjagaku.”
Si uang 100.000 tercenung. Nyatalah bahwa ia sangat tak pantas pongah. Meskipun lecek dan bau, ternyata si uang 1000 mempunyai manfaat yang lebih banyak dibandingkan dirinya.
Kisah di atas setidaknya dapat kita ambil 2 pelajaran:
1. Manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat. Apapun peran kita saat ini, berusahalah untuk selalu memberikan manfaat. entah itu untuk lingkungan terdekat kita yaitu keluarga, ataupun dalam lingkup lebih luas yaitu masyarakat dan alam. Ada sebuah quote menarik, yaitu: “bahwa seseorang dinilai bukan pada bagaimana dia mati, tapi bagaimana dia hidup”.
2. Ternyata, memang uang 100.000 sangat jaraaaaaanngg digunakan untuk sedekah. jikapun ada, kadang berat melepasnya. Tapi, kata Ippho Santosa, sedekah itu harus dibiasakan banyak meski pada awalnya tidak ikhlas. Jika sudah terbiasa, maka sedekah besarpun akan ikhlas dengan sendirinya (yg ini masih terus dusahakan). Dan ingat, bahwa uang 100.000 jika dibawa ke mesjid terasa sangat besar, tapi jika dibawa ke mall, akan terasa kecil, dan kita takut kurang bawa uangnya.
1000 VS 100.000 ::
Tersebutlah uang 1000 dan 100.000 rupiah. Selepas dicetak di Peruri dan diedarkan oleh BI, meraka mengalami perjalanan dan petualangan yang berbeda. Uang 1000, begitu dikeluarkan langsung beredar di kalangan bawah, di pasar, dipegang oleh tukang becak, tukang ojek, tukang parkir, bahkan pengemis. Sedangkan uang 100.000 masuk ke mall mall, dipegang oleh orang-orang cantik dan ganteng.
Alkisah, mereka bertemu di dompet seorang pemuda. Si uang 100.000 bertanya kepada uang 1000.
“Wahai uang 1000, kok badanmu buluk amat, bau, lecek. Kenapa bisa begitu?” Tanyanya dengan nada pongah, karena merasa dirinya bagus, kekar, dan wangi.
“Wahai uang 100.000. Wajarlah badanku lecek begini, aku kan dipegangnya sama tukang ojek, tukang becak, tukang ikan, tukang sayur, pengemis. Aku sangat sering berpindah-pindah makanya bau dan lecek. Tapi kau, wahai 100.000. Badanmu kekar, aromamu wangi. Kau tentulah sangat terpelihara?”
“Pastinya dong..! Aku sangat jarang keluar dompet, orang-orang sangat menyayangiku. Kalaupun keluar, aku keluar di daerah yang bersih dan wangi. Seperti mall dan toko emas”. Uang 100.000 tambah pongah.
Si uang 1000 terdiam sejenak.
“Kau sangat keren. Tapi…. pernahkan kau mampir di rumah yatim piatu?” tanya uang 1000.
Si uang 100.000 menggeleng.
“Tidak. Tidak pernah.”
“Kalau tempat ibadah?”
“Tidak pernah juga”
“Kalo di tangan seorang nenek-nenek yang menerima dengan rasa syukur yang sangat saat mendapatkanmu?”
Si uang 100.000 menggeleng lemah.
“Aku tidak pernah mengalami semua itu. pemilikku biasanya sangat menjagaku.”
Si uang 100.000 tercenung. Nyatalah bahwa ia sangat tak pantas pongah. Meskipun lecek dan bau, ternyata si uang 1000 mempunyai manfaat yang lebih banyak dibandingkan dirinya.
Kisah di atas setidaknya dapat kita ambil 2 pelajaran:
1. Manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat. Apapun peran kita saat ini, berusahalah untuk selalu memberikan manfaat. entah itu untuk lingkungan terdekat kita yaitu keluarga, ataupun dalam lingkup lebih luas yaitu masyarakat dan alam. Ada sebuah quote menarik, yaitu: “bahwa seseorang dinilai bukan pada bagaimana dia mati, tapi bagaimana dia hidup”.
2. Ternyata, memang uang 100.000 sangat jaraaaaaanngg digunakan untuk sedekah. jikapun ada, kadang berat melepasnya. Tapi, kata Ippho Santosa, sedekah itu harus dibiasakan banyak meski pada awalnya tidak ikhlas. Jika sudah terbiasa, maka sedekah besarpun akan ikhlas dengan sendirinya (yg ini masih terus dusahakan). Dan ingat, bahwa uang 100.000 jika dibawa ke mesjid terasa sangat besar, tapi jika dibawa ke mall, akan terasa kecil, dan kita takut kurang bawa uangnya.

No comments:

Post a Comment