EMAKKU BUKAN KARTINI
::
Emakku bukan
Kartini. Dia hanya anak seorang petani kelapa. Istri seorang petani kelapa
pula. Sampai akhir hayatnya dia buta huruf latin (bisa membaca huruf Arab). Dia
tak sekolah bukan karena tak hendak. Dia tak sekolah karena berbagai kombinasi
yang tak menguntungkannya.
Suatu hari di
kampung kedatangan ustaz dari desa lain. Ada pengajian kecil, mempelajari sifat
dua puluh. Emak, ketika itu seorang gadis kecil, ingin ikut serta belajar. Tapi
ia dihardik ayahnya. “Kau bukan anak perempuan yang patut untuk menjadi
cendekia.” Emak hanya bisa menangis.
Tapi Emak tak pernah
mengeluh. Pun ia tak melawan. Ia hanya menunggu datangnya sesuatu: Kebebasan.
Yang ia tunggu itu datang kemudian, saat ia menikah. Ayah ketika itu adalah
seorang buruh tani. Kerjanya memanjat kelapa milik orang, mengumpukannya ke
suatu tempat hingga siap dijual. Ia sepertinya puas dengan upah yang dia
terima. Tapi Emak tidak. Ia sudah melihat banyak kehidupan buruh tani. Sampai
tua mereka tetap miskin.Maka ia paksa Ayah untuk pindah kampung. Hijrah. Ini
adalah titik tolak baru dalam sejarah hidup Emak. Ia pindah ke kampung baru. Di
kampung itu masih tersedia lahan yang bisa dibuka. Hanya perlu tenaga untuk
menebang pohon.Bersama Ayah, dia memulai hidup pengantin barunya di sebuah
gubuk, menumpang di tanah paman jauhnya. Salah satu tiang gubuk itu adalah
batang bohon hidup. Berdinding dan beratap daun nipah, berlantai belahan kayu
nibung. Dari gubuk itulah nasibnya ia ubah.
Hari-hari
selanjutnya adalah hari-hari kerja keras. Tak pernah Emak berfikir bahwa ia
seorang perempuan, sehingga seharusnya beban kerjanya lebih ringan. Bersama
Ayah ia mengayun kampak, menebang rimba untuk membuka lahan. Lahan itu kemudian
menjadi ladang padi. Hasil panen padi adalah bekal makan selama setahun. Di
lahan itu pula ia mulai menanam kelapa, membuat kebun.Emak bekerja keras, lebih
keras dari orang lain. Sore hari saat orang sudah rapih reriungan dengan
keluarga, ia baru pulang dari ladang. Di gubuknya ia masih harus masak untuk
makan malam.
Kerja keras itu berhasil.
Bebeberapa tahun kemudian kelapanya sudah mulai menghasilkan. Tak banyak
memang. Tapi setidaknya keluarga kami sudah punya masa depan. Seingatku ketika
kemudian aku lahir sebagai anak ke delapan, keluarga kami bukan keluarga miskin
buruh tani, tapi keluarga pemilik beberapa bidang kebun kelapa, meski bukan
pula keluarga kaya.
Emak ingin belajar.
Ia tak mengeluh ketika niatnya dihalangi. Ia pun tak menangisi kesempatan yang
berlalu namun tak pernah dapat ia raih. Tapi ia tahu cara mengubah nasibnya. “Mereka
bisa menghalangiku untuk belajar. Tapi tak seorangpun bisa menghalangi
anak-anakku.” begitu tekadnya. Saat abangku yang tertua memasuki usia sekolah,
di kampung kami belum ada sekolah. Emak tak menyerah. Ia bersama ayah mengayuh
sampan selama tiga hari. Tiga hari. Ke kampung pamannya, seorang lurah. Di
situlah abangku dititipkan untuk bersekolah.Itulah mulanya, lalu kami semua
kakak beradik bisa bersekolah.
Sadar dengan tekad
itu Ayah tergerak. Ia ajak orang kampung membangun sekolah. Ia datangkan guru
dari kampung lain. Itulah sekolah yang kemudian mengubah nasib banyak orang di
kampung kami.
Tak cukup bertani,
Emak berdagang untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Dia beli pakaian,
obat-obatan, apa saja yang laku dijual dari kota, ia jajakan berkeliling dari
rumah ke rumah. Sambil belanja kebutuhan dagang ia bisa menengok anak-anaknya
yang sekolah di kota. Di lain ketika Emak jadi perias pengantin. Berkeliling ke
berbagai kampung, sambil tetap menjajakan dagangannya. Hingga akhirnya semua
anaknya bisa sekolah tinggi.
Di hari tuanya Emak
bisa beristirahat. Kami yang sudah bekerja bisa memberi dia makan, mencukupi
kebutuhannya. Saat aku lulus sarjana, Emak bilang, “Kau bekerjalah di sini, di
dekat Emak.” Aku menurut. Tapi aku juga masih ingin sekolah. Saat kesempatan
itu datang, Emak keberatan. Dia ingin aku tetap di sisinya. “Sudah cukuplah kau
sekolah. Kau sudah jadi sarjana.”
Aku bujuk Emak.
“Mak. Ingat kan, dulu Emak bekerja mati-matian agar kami bisa sekolah. Sekarang
ini saya dapat beasiswa. Artinya saya tidak perlu membayar untuk sekolah. Malah
saya dibayar. Saya mengkhianati cita-cita Emak kalau saya tidak sekolah lagi.”
Akhirnya Emak mengalah, aku diijinkannya pergi.Aku berangkat sekolah ke
Malaysia. Tapi saat aku di Jakarta aku dengar Emak pingsan di kamarku saat
membersihkannya. Kepergianku begitu melukainya.
Tapi Emak tak
meratapi itu. Setelah aku, saudara-saudaraku yang lebih tua juga dapat
kesempatan melanjutkan kuliah. Pernah suatu saat hanya ada abangku yang tertua
di sisi Emak. Anak laki-lakinya yang lain pergi jauh.Sedihkah Emak? “Sepi”,
katanya. “tapi sepi itu bisa Emak obati dengan rasa bangga.”
Emakku bukan
Kartini. Ia tak menulis surat, yang membuat orang lain bergerak. Ia bahkan tak
bisa menulis. Tapi dengan tangannya, dia mengubah nasibnya. Nasib kami.
(Sumber: Sutan Paruik Gadang,groups.yahoo.com)
EMAKKU BUKAN KARTINI
::
Emakku bukan
Kartini. Dia hanya anak seorang petani kelapa. Istri seorang petani kelapa
pula. Sampai akhir hayatnya dia buta huruf latin (bisa membaca huruf Arab). Dia
tak sekolah bukan karena tak hendak. Dia tak sekolah karena berbagai kombinasi
yang tak menguntungkannya.
Suatu hari di
kampung kedatangan ustaz dari desa lain. Ada pengajian kecil, mempelajari sifat
dua puluh. Emak, ketika itu seorang gadis kecil, ingin ikut serta belajar. Tapi
ia dihardik ayahnya. “Kau bukan anak perempuan yang patut untuk menjadi
cendekia.” Emak hanya bisa menangis.
Tapi Emak tak pernah
mengeluh. Pun ia tak melawan. Ia hanya menunggu datangnya sesuatu: Kebebasan.
Yang ia tunggu itu datang kemudian, saat ia menikah. Ayah ketika itu adalah
seorang buruh tani. Kerjanya memanjat kelapa milik orang, mengumpukannya ke
suatu tempat hingga siap dijual. Ia sepertinya puas dengan upah yang dia
terima. Tapi Emak tidak. Ia sudah melihat banyak kehidupan buruh tani. Sampai
tua mereka tetap miskin.Maka ia paksa Ayah untuk pindah kampung. Hijrah. Ini
adalah titik tolak baru dalam sejarah hidup Emak. Ia pindah ke kampung baru. Di
kampung itu masih tersedia lahan yang bisa dibuka. Hanya perlu tenaga untuk
menebang pohon.Bersama Ayah, dia memulai hidup pengantin barunya di sebuah
gubuk, menumpang di tanah paman jauhnya. Salah satu tiang gubuk itu adalah
batang bohon hidup. Berdinding dan beratap daun nipah, berlantai belahan kayu
nibung. Dari gubuk itulah nasibnya ia ubah.
Hari-hari
selanjutnya adalah hari-hari kerja keras. Tak pernah Emak berfikir bahwa ia
seorang perempuan, sehingga seharusnya beban kerjanya lebih ringan. Bersama
Ayah ia mengayun kampak, menebang rimba untuk membuka lahan. Lahan itu kemudian
menjadi ladang padi. Hasil panen padi adalah bekal makan selama setahun. Di
lahan itu pula ia mulai menanam kelapa, membuat kebun.Emak bekerja keras, lebih
keras dari orang lain. Sore hari saat orang sudah rapih reriungan dengan
keluarga, ia baru pulang dari ladang. Di gubuknya ia masih harus masak untuk
makan malam.
Kerja keras itu
berhasil. Bebeberapa tahun kemudian kelapanya sudah mulai menghasilkan. Tak
banyak memang. Tapi setidaknya keluarga kami sudah punya masa depan. Seingatku
ketika kemudian aku lahir sebagai anak ke delapan, keluarga kami bukan keluarga
miskin buruh tani, tapi keluarga pemilik beberapa bidang kebun kelapa, meski
bukan pula keluarga kaya.
Emak ingin belajar.
Ia tak mengeluh ketika niatnya dihalangi. Ia pun tak menangisi kesempatan yang
berlalu namun tak pernah dapat ia raih. Tapi ia tahu cara mengubah nasibnya.
“Mereka bisa menghalangiku untuk belajar. Tapi tak seorangpun bisa menghalangi
anak-anakku.” begitu tekadnya. Saat abangku yang tertua memasuki usia sekolah,
di kampung kami belum ada sekolah. Emak tak menyerah. Ia bersama ayah mengayuh
sampan selama tiga hari. Tiga hari. Ke kampung pamannya, seorang lurah. Di
situlah abangku dititipkan untuk bersekolah.Itulah mulanya, lalu kami semua
kakak beradik bisa bersekolah.
Sadar dengan tekad
itu Ayah tergerak. Ia ajak orang kampung membangun sekolah. Ia datangkan guru
dari kampung lain. Itulah sekolah yang kemudian mengubah nasib banyak orang di
kampung kami.
Tak cukup bertani,
Emak berdagang untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Dia beli pakaian,
obat-obatan, apa saja yang laku dijual dari kota, ia jajakan berkeliling dari
rumah ke rumah. Sambil belanja kebutuhan dagang ia bisa menengok anak-anaknya
yang sekolah di kota. Di lain ketika Emak jadi perias pengantin. Berkeliling ke
berbagai kampung, sambil tetap menjajakan dagangannya. Hingga akhirnya semua
anaknya bisa sekolah tinggi.
Di hari tuanya Emak
bisa beristirahat. Kami yang sudah bekerja bisa memberi dia makan, mencukupi
kebutuhannya. Saat aku lulus sarjana, Emak bilang, “Kau bekerjalah di sini, di
dekat Emak.” Aku menurut. Tapi aku juga masih ingin sekolah. Saat kesempatan
itu datang, Emak keberatan. Dia ingin aku tetap di sisinya. “Sudah cukuplah kau
sekolah. Kau sudah jadi sarjana.”
Aku bujuk Emak.
“Mak. Ingat kan, dulu Emak bekerja mati-matian agar kami bisa sekolah. Sekarang
ini saya dapat beasiswa. Artinya saya tidak perlu membayar untuk sekolah. Malah
saya dibayar. Saya mengkhianati cita-cita Emak kalau saya tidak sekolah lagi.”
Akhirnya Emak mengalah, aku diijinkannya pergi.Aku berangkat sekolah ke
Malaysia. Tapi saat aku di Jakarta aku dengar Emak pingsan di kamarku saat
membersihkannya. Kepergianku begitu melukainya.
Tapi Emak tak
meratapi itu. Setelah aku, saudara-saudaraku yang lebih tua juga dapat
kesempatan melanjutkan kuliah. Pernah suatu saat hanya ada abangku yang tertua
di sisi Emak. Anak laki-lakinya yang lain pergi jauh.Sedihkah Emak? “Sepi”,
katanya. “tapi sepi itu bisa Emak obati dengan rasa bangga.”
Emakku bukan
Kartini. Ia tak menulis surat, yang membuat orang lain bergerak. Ia bahkan tak
bisa menulis. Tapi dengan tangannya, dia mengubah nasibnya. Nasib kami.
(Sumber: Sutan Paruik Gadang,groups.yahoo.com)
Anak doyan makan,
ayah miskin jual ginjal ::
Sebuah keluarga
miskin di India mempunyai tiga orang anak kecil dengan tingkat obesitas yang
sangat mengerikan. Anak termuda Harsh (1) berbobot 15 kilogram, Yogita Rameshbai
(5) dengan berat 48 kilogram, dan Anisha (3 tahun) seberat 34 kilogram.
Konsumsi yang mereka
makan seminggu setara dengan porsi makan dua keluarga dalam satu bulan. Sang
ayah, Rameshbai (34) kalang kabut memenuhi porsi makanan
"monster-monster" kecilnya, dia berencana menjual ginjalnya demi mendapatkan uang agar
porsi makan anak-anaknya tetap tercukupi.
"Sebenarnya
saya cemas akan kondisi anak-anak, pertumbuhan abnormalnya membuat mereka
rentan terkena penyakit dan berujung pada kematian," ungkapnya seperti
dilansir surat kabar Daily Mail.
Diketahui, Yogita
dan Anisha memakan 18 kue gandum pancake, 1,4 kilogram nasi, 2 mangkuk sup
kaldu, 6 bungkus krupuk, 5 bungkus biskuit, 12 pisang dan satu liter susu
perharinya. Kondisi seperti ini membuat sang ibu, Pragna Ben (30), menghabiskan
seluruh waktunya hanya demi memenuhi rasa lapar anak-anaknya.
"Setiap pagi
dimulai dengan membuat 30 kue gandum, menyiapkan 1 kilogram sayur kari pada
pagi hari, dan setelahnya melanjutkan memasak di dapur untuk menu siang dan malam
mereka," ungkapnya.
Mereka mulai marah,
berontak, dan tidak terkendali jika merasa kelaparan, atau porsi makan mereka
kurang. Sebenarnya mereka mempunyai satu kakak perempuan, Rhavika (6) dengan
kondisi normal berbobot 16 kilogram, ia sendiri heran mengapa adik-adiknya
mempunyai bobot bak "monster".
Pada awal kelahiran
Yogita sang ayah mengaku kondisinya sangat lemah dan bobotnya hanya 1,5
kilogram, maka dari itu mereka memberinya makan secara berlebih, dan pada ulang
tahunnya yang pertama beratnya meledak hingga 12 kilogram.
1000 VS 100.000 ::
Tersebutlah uang
1000 dan 100.000 rupiah. Selepas dicetak di Peruri dan diedarkan oleh BI,
meraka mengalami perjalanan dan petualangan yang berbeda. Uang 1000, begitu
dikeluarkan langsung beredar di kalangan bawah, di pasar, dipegang oleh tukang
becak, tukang ojek, tukang parkir, bahkan pengemis. Sedangkan uang 100.000
masuk ke mall mall, dipegang oleh orang-orang cantik dan ganteng.
Alkisah, mereka
bertemu di dompet seorang pemuda. Si uang 100.000 bertanya kepada uang 1000.
“Wahai uang 1000, kok badanmu buluk amat, bau, lecek. Kenapa bisa begitu?” Tanyanya dengan nada pongah, karena merasa dirinya bagus, kekar, dan wangi.
“Wahai uang 100.000. Wajarlah badanku lecek begini, aku kan dipegangnya sama tukang ojek, tukang becak, tukang ikan, tukang sayur, pengemis. Aku sangat sering berpindah-pindah makanya bau dan lecek. Tapi kau, wahai 100.000. Badanmu kekar, aromamu wangi. Kau tentulah sangat terpelihara?”
“Pastinya dong..! Aku sangat jarang keluar dompet, orang-orang sangat menyayangiku. Kalaupun keluar, aku keluar di daerah yang bersih dan wangi. Seperti mall dan toko emas”. Uang 100.000 tambah pongah.
Si uang 1000 terdiam sejenak.
“Kau sangat keren. Tapi…. pernahkan kau mampir di rumah yatim piatu?” tanya uang 1000.
Si uang 100.000 menggeleng.
“Tidak. Tidak pernah.”
“Kalau tempat ibadah?”
“Tidak pernah juga”
“Kalo di tangan seorang nenek-nenek yang menerima dengan rasa syukur yang sangat saat mendapatkanmu?”
Si uang 100.000 menggeleng lemah.
“Aku tidak pernah mengalami semua itu. pemilikku biasanya sangat menjagaku.”
“Wahai uang 1000, kok badanmu buluk amat, bau, lecek. Kenapa bisa begitu?” Tanyanya dengan nada pongah, karena merasa dirinya bagus, kekar, dan wangi.
“Wahai uang 100.000. Wajarlah badanku lecek begini, aku kan dipegangnya sama tukang ojek, tukang becak, tukang ikan, tukang sayur, pengemis. Aku sangat sering berpindah-pindah makanya bau dan lecek. Tapi kau, wahai 100.000. Badanmu kekar, aromamu wangi. Kau tentulah sangat terpelihara?”
“Pastinya dong..! Aku sangat jarang keluar dompet, orang-orang sangat menyayangiku. Kalaupun keluar, aku keluar di daerah yang bersih dan wangi. Seperti mall dan toko emas”. Uang 100.000 tambah pongah.
Si uang 1000 terdiam sejenak.
“Kau sangat keren. Tapi…. pernahkan kau mampir di rumah yatim piatu?” tanya uang 1000.
Si uang 100.000 menggeleng.
“Tidak. Tidak pernah.”
“Kalau tempat ibadah?”
“Tidak pernah juga”
“Kalo di tangan seorang nenek-nenek yang menerima dengan rasa syukur yang sangat saat mendapatkanmu?”
Si uang 100.000 menggeleng lemah.
“Aku tidak pernah mengalami semua itu. pemilikku biasanya sangat menjagaku.”
Si uang 100.000
tercenung. Nyatalah bahwa ia sangat tak pantas pongah. Meskipun lecek dan bau,
ternyata si uang 1000 mempunyai manfaat yang lebih banyak dibandingkan dirinya.
Kisah di atas
setidaknya dapat kita ambil 2 pelajaran:
1. Manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat. Apapun peran kita saat ini, berusahalah untuk selalu memberikan manfaat. entah itu untuk lingkungan terdekat kita yaitu keluarga, ataupun dalam lingkup lebih luas yaitu masyarakat dan alam. Ada sebuah quote menarik, yaitu: “bahwa seseorang dinilai bukan pada bagaimana dia mati, tapi bagaimana dia hidup”.
1. Manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat. Apapun peran kita saat ini, berusahalah untuk selalu memberikan manfaat. entah itu untuk lingkungan terdekat kita yaitu keluarga, ataupun dalam lingkup lebih luas yaitu masyarakat dan alam. Ada sebuah quote menarik, yaitu: “bahwa seseorang dinilai bukan pada bagaimana dia mati, tapi bagaimana dia hidup”.
2. Ternyata, memang
uang 100.000 sangat jaraaaaaanngg digunakan untuk sedekah. jikapun ada, kadang
berat melepasnya. Tapi, kata Ippho Santosa, sedekah itu harus dibiasakan banyak
meski pada awalnya tidak ikhlas. Jika sudah terbiasa, maka sedekah besarpun
akan ikhlas dengan sendirinya (yg ini masih terus dusahakan). Dan ingat, bahwa
uang 100.000 jika dibawa ke mesjid terasa sangat besar, tapi jika dibawa ke
mall, akan terasa kecil, dan kita takut kurang bawa uangnya.
1000 VS 100.000 ::
Tersebutlah uang
1000 dan 100.000 rupiah. Selepas dicetak di Peruri dan diedarkan oleh BI,
meraka mengalami perjalanan dan petualangan yang berbeda. Uang 1000, begitu
dikeluarkan langsung beredar di kalangan bawah, di pasar, dipegang oleh tukang
becak, tukang ojek, tukang parkir, bahkan pengemis. Sedangkan uang 100.000
masuk ke mall mall, dipegang oleh orang-orang cantik dan ganteng.
Alkisah, mereka
bertemu di dompet seorang pemuda. Si uang 100.000 bertanya kepada uang 1000.
“Wahai uang 1000, kok badanmu buluk amat, bau, lecek. Kenapa bisa begitu?” Tanyanya dengan nada pongah, karena merasa dirinya bagus, kekar, dan wangi.
“Wahai uang 100.000. Wajarlah badanku lecek begini, aku kan dipegangnya sama tukang ojek, tukang becak, tukang ikan, tukang sayur, pengemis. Aku sangat sering berpindah-pindah makanya bau dan lecek. Tapi kau, wahai 100.000. Badanmu kekar, aromamu wangi. Kau tentulah sangat terpelihara?”
“Pastinya dong..! Aku sangat jarang keluar dompet, orang-orang sangat menyayangiku. Kalaupun keluar, aku keluar di daerah yang bersih dan wangi. Seperti mall dan toko emas”. Uang 100.000 tambah pongah.
Si uang 1000 terdiam sejenak.
“Kau sangat keren. Tapi…. pernahkan kau mampir di rumah yatim piatu?” tanya uang 1000.
Si uang 100.000 menggeleng.
“Tidak. Tidak pernah.”
“Kalau tempat ibadah?”
“Tidak pernah juga”
“Kalo di tangan seorang nenek-nenek yang menerima dengan rasa syukur yang sangat saat mendapatkanmu?”
Si uang 100.000 menggeleng lemah.
“Aku tidak pernah mengalami semua itu. pemilikku biasanya sangat menjagaku.”
“Wahai uang 1000, kok badanmu buluk amat, bau, lecek. Kenapa bisa begitu?” Tanyanya dengan nada pongah, karena merasa dirinya bagus, kekar, dan wangi.
“Wahai uang 100.000. Wajarlah badanku lecek begini, aku kan dipegangnya sama tukang ojek, tukang becak, tukang ikan, tukang sayur, pengemis. Aku sangat sering berpindah-pindah makanya bau dan lecek. Tapi kau, wahai 100.000. Badanmu kekar, aromamu wangi. Kau tentulah sangat terpelihara?”
“Pastinya dong..! Aku sangat jarang keluar dompet, orang-orang sangat menyayangiku. Kalaupun keluar, aku keluar di daerah yang bersih dan wangi. Seperti mall dan toko emas”. Uang 100.000 tambah pongah.
Si uang 1000 terdiam sejenak.
“Kau sangat keren. Tapi…. pernahkan kau mampir di rumah yatim piatu?” tanya uang 1000.
Si uang 100.000 menggeleng.
“Tidak. Tidak pernah.”
“Kalau tempat ibadah?”
“Tidak pernah juga”
“Kalo di tangan seorang nenek-nenek yang menerima dengan rasa syukur yang sangat saat mendapatkanmu?”
Si uang 100.000 menggeleng lemah.
“Aku tidak pernah mengalami semua itu. pemilikku biasanya sangat menjagaku.”
Si uang 100.000
tercenung. Nyatalah bahwa ia sangat tak pantas pongah. Meskipun lecek dan bau,
ternyata si uang 1000 mempunyai manfaat yang lebih banyak dibandingkan dirinya.
Kisah di atas
setidaknya dapat kita ambil 2 pelajaran:
1. Manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat. Apapun peran kita saat ini, berusahalah untuk selalu memberikan manfaat. entah itu untuk lingkungan terdekat kita yaitu keluarga, ataupun dalam lingkup lebih luas yaitu masyarakat dan alam. Ada sebuah quote menarik, yaitu: “bahwa seseorang dinilai bukan pada bagaimana dia mati, tapi bagaimana dia hidup”.
1. Manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat. Apapun peran kita saat ini, berusahalah untuk selalu memberikan manfaat. entah itu untuk lingkungan terdekat kita yaitu keluarga, ataupun dalam lingkup lebih luas yaitu masyarakat dan alam. Ada sebuah quote menarik, yaitu: “bahwa seseorang dinilai bukan pada bagaimana dia mati, tapi bagaimana dia hidup”.
2. Ternyata, memang
uang 100.000 sangat jaraaaaaanngg digunakan untuk sedekah. jikapun ada, kadang
berat melepasnya. Tapi, kata Ippho Santosa, sedekah itu harus dibiasakan banyak
meski pada awalnya tidak ikhlas. Jika sudah terbiasa, maka sedekah besarpun
akan ikhlas dengan sendirinya (yg ini masih terus dusahakan). Dan ingat, bahwa
uang 100.000 jika dibawa ke mesjid terasa sangat besar, tapi jika dibawa ke
mall, akan terasa kecil, dan kita takut kurang bawa uangnya.
No comments:
Post a Comment